PURWAKARTA ,itorkeruh,-  Anggota DPRD Purwakarta Rivki Fauzi menyoroti persoalan perampasan motor oleh debt collector, yang kini semakin marak terjadi.

Dia mengaku akhir-akhir ini banyak masyarakat yang mengadu kepadanya jika kendaraannya diambil debt collector di jalan dengan sewenang-wenang.

Atas dasar itu dia meminta semua pihak mencari solusi terkait persoalan tersebut.

"Peristiwa seorang anggota TNI yang dikeroyok debt collector di Gerbang Tol Kebun Bawang, Jakarta Utara beberapa waktu lalu, jangan sampai terulang.

Termasuk juga peristiwa seorang debt collector dikroyok hingga tewas di Subang, Jawa Barat. Ini kan miris sekali,"ujar anggota dewan dari Partai Gerindra ini.

Dia menyebut, persoalan ini sebetulnya tidak perlu terjadi jika semua pihak patuh hukum.

Sebab negara sudah membuat regulasi menengahi persoalan perkeriditan. Ke Perusahaan pembiayaan harus lebih paham soal peraturan yang dibuat pemerintah, sehingga tidak sewenang-wenang melakukan eksekusi barang yang jadi jaminan jika mengalami gagal bayar.

"Apalagi di era digital seperti sekarang masyarakat awampun bisa belajar hukum di internet. Jadi masyarakat sudah tahu jika mengalami gagal bayar, barang jaminan kridit tidak bisa dieksekusi sewenang-wenang di jalan dengan melibatkan penagih hutang,"kata Rivki.

Menurutnya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42/1999 tentang Jaminan Fidusia tidak memberikan kewenangan kepada kreditur untuk melakukan upaya paksa atau mengambil benda yang menjadi objek jaminan fidusia secara paksa dari tangan debitur tanpa bantuan pihak berwenang seperti pengadilan atau kepolisian.

"Jika terjadi upaya penyitaan paksa terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia maka kriditur bisa melaporkan tindakan tersebut kepada kepolisian, bisa berupa peraporan pelanggaran pasal perlakuan tidak menyenangkan atau pasal perampasan,"tuturnya.

Apalagi, kata Rivky, setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 18/PUU-XVII/2019 yang membahas tentang eksekusi jaminan fidusia.

Dimana, Mahkamah Konstitusi memberikan putusan dengan memberi penafsiran terhadap frasa kekuatan eksekutorial dan frasa sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, serta frasa cidera janji dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Jaminan Fidusia.

Pada pokoknya, putusan Mahkamah Konstitusi berisi 3 (tiga) hal berikut, yaitu: Terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. 

"Adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji," Terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi

Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. 

Kesimpulanya, eksekusi jaminan fidusia dilakukan saat adanya kesepakatan mengenai cidera janji dan kerelaan debitur untuk menyerahkan benda yang menjadi objek fidusia.

Apabila tidak terdapat kesepakatan mengenai cidera janji dan debitur tidak menyerahkan objek jaminan secara sukarela, maka prosedur eksekusi jaminan fidusia dilakukan sama dengan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yaitu dengan mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan negeri. 

Selain itu, cidera janji juga tidak dapat ditentukan secara sepihak. Harus ada kesepakatan mengenai cidera janji/wanprestasi yang ditentukan oleh kedua belah pihak atau atas dasar upaya hukum (gugatan) yang menyatakan bahwa salah satu pihak telah melakukan wanprestasi(jpn)